Notification

×

Iklan

Iklan

Kontroversi Proyek Pemecah Gelombang di Pulau Bonerate, Pelanggaran Spesifikasi dan Dampak Lingkungan

Selasa, Agustus 20, 2024 | 15.50 WIB | 0 Views Last Updated 2024-12-15T08:34:38Z

 

Gambaran lokasi pengerukan tanah dan batu di Bukit Majapahit diambil dari photo citra satelit (Google Earth) yang diperbarui 19/08/2024 (Photo: Istimewa) 

Realitynews.web.id -- Proyek pembangunan pemecah ombak (breakwater) di Pulau Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, yang dianggarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun 2023, diduga sarat dengan berbagai masalah. Proyek ini dikerjakan oleh PT Fikri Bangun Persada, yang dikabarkan dimiliki oleh H. Natsir Ali, saudara Bupati Kepulauan Selayar. PT Fikri Bangun Persada memenangkan tender dengan penawaran senilai Rp 6,1 miliar dari total pagu anggaran sebesar Rp 9 miliar.


Proyek ini diduga tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang telah ditetapkan. Salah satu masalah utama adalah penggunaan batu kapur sebagai material utama, yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.


Lebih parah lagi, dalam proses pengerjaan, PT Fikri Bangun Persada meratakan Bukit Majapahit, satu-satunya bukit yang ada di Pulau Bonerate. Bukit tersebut kini tinggal sejarah, karena telah diratakan dan batunya digunakan dalam pembangunan breakwater yang justru tidak memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan.


Selain PT Fikri Bangun Persada, CV Wira Sarana, yang juga memenangkan tender proyek pembangunan breakwater di Bonea, Kabupaten Kepulauan Selayar, terlibat dalam masalah serupa. Salah satu warga Desa Majapahit mengungkapkan bahwa Bukit Majapahit awalnya ditambang oleh CV Wira Sarana.


Papan proyek pembangunan pemecah ombak Kementerian PUPR Direktorat Jenderal Sumber daya Air Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (Photo: Istimewa) 

Namun, tambang tersebut ternyata tidak memiliki izin yang sah, dan aktivitas penambangan ini telah berdampak buruk terhadap lingkungan di Pulau Bonerate.


Kerusakan lingkungan yang terjadi mencakup hilangnya vegetasi alami di sekitar Bukit Majapahit, yang sebelumnya berfungsi sebagai penahan erosi. Akibatnya, erosi tanah semakin meningkat, mengancam keberlangsungan ekosistem setempat dan menyebabkan sedimentasi di perairan sekitar. Sedimentasi ini merusak kualitas air laut, mengganggu kehidupan laut, serta merusak terumbu karang yang menjadi habitat penting bagi berbagai spesies ikan. Selain itu, penambangan yang tidak terkendali juga menyebabkan longsor kecil yang berpotensi mengancam keselamatan penduduk sekitar.


Selain permasalahan teknis, proyek ini juga mengindikasikan adanya pelanggaran perizinan. Seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan adanya dugaan kuat penyimpangan, baik dari segi perizinan maupun pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, warga mendesak aparat penegak hukum, baik Kejaksaan maupun Kepolisian, untuk segera turun tangan guna menghindari potensi kerugian negara yang lebih besar.


Proses pengerjaan proyek pemecah ombak (Photo: Istimewa) 

Perlu diketahui, hanya ada empat usaha tambang di Kepulauan Selayar yang memiliki izin resmi. Pertama, penambangan tanah urug di Jalan Poros Bandara, Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontoharu. Kedua, penambangan batuan jenis tanah urug di Bontokalimbu, Kecamatan Bontomarannu.(*)

×
Berita Terbaru Update