
![]() |
Rapat Komisi I DPR-RI bahas revisi UU TNI (Photo: Istimewa) |
Sebelumnya, keputusan ini diambil dalam rapat pleno Panitia Kerja (Panja) RUU TNI di Kompleks Parlemen, Selasa (18/3/2025).
Rencana revisi ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat sipil dan pemerintah. Berikut beberapa pandangan terkait perubahan aturan tersebut:
Koalisi masyarakat sipil menilai revisi ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI, seperti pada era Orde Baru, yang dapat mengancam demokrasi dan supremasi sipil. Mereka juga mengkritik proses pembahasan yang dianggap tergesa-gesa dan kurang transparan.
Pemerintah dan DPR menegaskan bahwa revisi ini tidak akan mengembalikan dwifungsi TNI. Mereka menyatakan perubahan hanya mencakup tiga pasal utama:
- Pasal 3: Mengatur kedudukan TNI.
- Pasal 47: Memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di instansi sipil.
- Pasal 53: Mengatur batas usia pensiun prajurit.
Revisi ini memungkinkan prajurit aktif menempati jabatan di lima kementerian/lembaga tambahan:
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan
2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
3. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
4. Badan Keamanan Laut (Bakamla)
5. Kejaksaan Agung
Kelompok hak asasi manusia, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Amnesty International Indonesia, menolak revisi ini. Mereka khawatir penempatan prajurit di jabatan sipil dapat meningkatkan dominasi militer dan berpotensi mengancam demokrasi serta memperbesar risiko pelanggaran HAM.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menegaskan bahwa revisi ini bertujuan menyempurnakan tugas pokok TNI agar lebih adaptif terhadap tantangan zaman. Ia juga memastikan perubahan aturan akan menghindari tumpang tindih kewenangan dengan institusi lain.
Perdebatan mengenai revisi UU TNI mencerminkan kekhawatiran akan kembalinya peran ganda militer dalam pemerintahan sipil. Pemerintah dan DPR diharapkan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak agar revisi ini tidak mengancam demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. (*)