
![]() |
Tampilan portal media online yang memuat tindak kekerasan kepada wartawan (Photo: ar/realitynews.web.id) |
Realitynews.web.id | MAKASSAR — Tepat tanggal 31 Mei 2025, jurnalis dan masyarakat pers memperingati Hari Hak Jawab, sebuah momentum penting yang pertama kali ditetapkan pada 31 Mei 2010 di Makassar. Penetapan ini bertepatan dengan ulang tahun pertama Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, yang didirikan setahun sebelumnya, pada 31 Mei 2009. Koalisi ini terbentuk sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya kriminalisasi pers oleh mantan Kapolda Sulselbar saat itu, Irjen Pol Sisno Adiwinoto.
Asal-Usul Koalisi
Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar merupakan gabungan dari tiga organisasi pers:
- Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel, diketuai saat itu oleh Nasrullah Nara,
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar – dipimpin oleh Andi Fadly To Ugi,
- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel – diwakili oleh Husain Abdullah.
Setelah melalui proses persidangan atas gugatan pidana dan perdata di Pengadilan Negeri Makassar pada 14 September 2009, koalisi ini berevolusi menjadi Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB).
Misi KPJKB: Advokasi dan Hak Jawab
KPJKB tetap aktif hingga kini dalam memperjuangkan kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Selain memberikan advokasi kepada jurnalis dan aktivis, KPJKB juga gencar mengkampanyekan pentingnya Hak Jawab.
Menurut Pasal 5 ayat (2) UU Pers No. 40 Tahun 1999, Hak Jawab adalah hak masyarakat untuk memberikan tanggapan atau sanggahan atas pemberitaan yang dianggap merugikan, khususnya yang menyangkut nama baik atau reputasi.
Hak Jawab setara kedudukannya dengan Hak Koreksi, yaitu hak untuk membetulkan kesalahan informasi yang dimuat oleh media, baik tentang diri sendiri maupun pihak lain.
Masalah Akibat Tidak Digunakannya Hak Jawab
Berdasarkan catatan KPJKB, banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media terjadi karena pihak yang dirugikan tidak memanfaatkan mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi. Beberapa memilih jalur kekerasan verbal, fisik, hingga gugatan hukum, alih-alih menggunakan jalur yang disediakan oleh undang-undang.
Contoh terbaru, gugatan perdata terhadap enam media di Makassar pada 2023 dan dua media pada 2024, menunjukkan rendahnya pemahaman dan penggunaan Hak Jawab sebagai solusi penyelesaian sengketa.
Hak Jawab sebagai Pilar Demokrasi
Negara dengan tradisi demokrasi yang matang menjalankan prinsip bahwa "Kata dibalas kata, fakta dibalas fakta, opini dijawab opini, dan berita ditanggapi dengan berita."
Peringatan Hari Hak Jawab menjadi pengingat bahwa demokrasi membutuhkan ruang dialog yang sehat. Masyarakat didorong untuk menggunakan mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai solusi, bukan kekerasan atau intimidasi.
Jika Media Tidak Menjalankan Hak Jawab
Jika media tidak memberikan ruang bagi Hak Jawab atau Hak Koreksi, masyarakat dapat melapor ke Dewan Pers, sesuai dengan Peraturan Dewan Pers No. 01/Peraturan-DP/2008 tentang prosedur pengaduan. Ini menjadi bentuk kontrol sosial agar media tetap profesional dan bertanggung jawab.
Landasan Hukum Hak Jawab dan Hak Koreksi
Berikut ini kutipan penting dari Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers:
- Pasal 1 ayat 11 : Hak Jawab adalah hak untuk memberikan sanggahan terhadap pemberitaan yang merugikan nama baik.
- Pasal 1 ayat 12 : Hak Koreksi adalah hak untuk membetulkan kekeliruan informasi.
- Pasal 1 ayat 13 : Kewajiban Koreksi adalah kewajiban media untuk memperbaiki informasi yang salah.
- Pasal 4 ayat 3 : Pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi serta gagasan.
Harapan ke Depan
Dalam rangka memperingati Hari Hak Jawab sekaligus ulang tahun KPJKB, kami mengajak semua pemangku kepentingan—masyarakat, pemerintah, aparat hukum, hingga media—untuk menjadikan Hak Jawab sebagai budaya penyelesaian sengketa yang sehat, demokratis, dan beradab. (Red)