Notification

×

Iklan

Iklan

Diduga Terima PKH, Istri Ketua BPD Pamatata Disorot: Ada Apa dengan Validasi Data Bansos?

Rabu, April 30, 2025 | 13.47 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-30T05:53:41Z

 

Gambar seorang Istri Anggota BPD penerima bantuan PKH (Photo: Ilustrasi) 

Realitynews.web.id | SELAYAR — Polemik mencuat di Desa Pamatata, Kecamatan Bontomatene, Kepulauan Selayar, usai terungkap bahwa istri Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terdaftar sebagai penerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH). Temuan ini memicu tanda tanya besar: sejauh mana akurasi dan kejujuran dalam pendataan penerima bantuan?


PKH merupakan program bantuan sosial bersyarat dari pemerintah pusat yang menyasar keluarga miskin dan rentan. Namun, di lapangan, data menunjukkan nama istri pejabat desa aktif masih tercatat sebagai penerima. Padahal, suaminya menerima honor tetap dari APBD, yang secara prinsip seharusnya menggugurkan kriteria penerimaan.


“Sementara banyak warga yang lebih membutuhkan justru tidak tersentuh bantuan. Ini tidak adil dan mencederai rasa kepercayaan warga terhadap pemerintah desa,” ujar Irma, seorang warga yang merasa keluarganya lebih layak namun tidak terdata sebagai penerima. Selasa, (19/04/2025). 


Lebih lanjut, seorang pendamping PKH di Kabupaten Kepulauan Selayar mengonfirmasi bahwa penerima dalam kategori seperti ini wajib mengajukan graduasi mandiri, yakni pengunduran diri secara sukarela dari program karena kondisi ekonomi yang sudah membaik.


“Jika tidak, pemerintah desa bisa mencabutnya melalui Musyawarah Desa. Ini diatur jelas dalam Permensos No. 73 Tahun 2024,” ujarnya via WhatsApp.


Namun, berdasarkan penelusuran lapangan, belum ditemukan dokumen atau notulen Musyawarah Desa yang membahas hal tersebut. Bahkan, sejumlah warga menyebut bahwa pembaruan data penerima PKH jarang disosialisasikan secara terbuka.


Sistem Lemah, Potensi Moral Hazard

Kasus ini menyorot lemahnya mekanisme verifikasi dan validasi data bansos di tingkat desa. Dalam banyak kasus, relasi kekuasaan lokal justru menjadi celah bagi penyalahgunaan wewenang—baik secara langsung maupun melalui pembiaran.


“Kalau yang punya jabatan saja masih menikmati bantuan, bagaimana nasib warga yang benar-benar hidup susah tapi tidak punya akses?” kata seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.


Dinas Sosial Kepulauan Selayar diminta turun tangan untuk melakukan audit data dan meninjau kembali keakuratan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di desa-desa, terutama yang memiliki potensi konflik kepentingan antara pengelola program dan penerima manfaat.


Bukan Kasus Pertama

Fenomena serupa bukan kali pertama terjadi di Kepulauan Selayar. Tahun lalu, seorang aparat desa di kecamatan lain juga kedapatan masih menerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) meski telah memiliki penghasilan tetap. Namun, hingga kini, belum ada sanksi tegas terhadap penyalahgunaan tersebut.


Transparansi dan partisipasi warga dalam proses pemutakhiran data dianggap menjadi kunci pencegahan kasus serupa. Tanpa itu, bansos hanya menjadi komoditas kekuasaan, bukan jaring pengaman sosial. (Ar) 

×
Berita Terbaru Update