
![]() |
Hamparan luas tanah belum bersertifikat masih menggunakan Girikver, ponding, atau letter C (Photo: Istimewa) |
"Informasi bahwa tanah girik yang belum didaftarkan hingga tahun 2026 akan diambil alih oleh negara itu tidak benar," ujar Asnaedi.
Ia menjelaskan bahwa sejak lama girik, verponding, dan bukti kepemilikan adat lainnya bukan merupakan alat bukti kepemilikan sah, melainkan hanya menjadi petunjuk adanya penguasaan atau bekas hak atas tanah. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
"Bekas hak lama seperti girik bisa diakui dan dikonversi menjadi hak atas tanah sesuai aturan. Jadi, tidak ada istilah tanah dirampas negara jika belum bersertipikat," tegasnya.
Lebih lanjut, Asnaedi menepis anggapan bahwa negara akan merampas tanah masyarakat. "Kalau tanahnya ada, giriknya ada, dan masih dikuasai secara fisik oleh pemilik, maka negara tidak akan mengambilnya," tandasnya.
Sebagai informasi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 96 memang menyebutkan bahwa tanah adat yang belum terdaftar wajib didaftarkan paling lambat lima tahun sejak aturan berlaku. Dengan demikian, batas waktu pendaftaran berakhir pada tahun 2026. Namun, aturan ini tidak berarti tanah otomatis disita ika belum didaftarkan.
Dirjen PHPT mengimbau masyarakat untuk segera mendaftarkan tanahnya agar memperoleh sertipikat resmi sebagai bentuk kepastian hukum atas kepemilikan.
"Jangan takut. Justru ini kesempatan agar masyarakat punya legalitas hukum. Negara hadir untuk memberikan perlindungan, bukan mengambil hak rakyat," kata Asnaedi.
Masyarakat juga diimbau untuk mengakses informasi resmi melalui kanal yang disediakan Kementerian ATR/BPN seperti: Situs web: www.atrbpn.go.id https://www.atrbpn.go.id, Media sosial resmi Kementerian ATR/BPN dan Hotline Pengaduan di nomor 0811-1068-0000 (Ar)