Namun, dari balik keterpurukan itu, lahirlah sebuah kisah yang hingga kini masih hidup—kisah tentang seorang perempuan desa bernama Mak Eroh, yang berani melawan mustahil demi air, demi kehidupan.
Awal dari Sebuah Tekad
Tahun 1985, ketika sedang mencari jamur di hutan untuk kebutuhan makan sehari-hari, Mak Eroh menemukan sebuah sumber mata air di Perbukitan Pasir Lutung. Sumber itu jernih, segar, dan deras. Ia tahu betul bahwa air itulah jawaban bagi kampungnya yang sudah lama dilanda kekeringan.
Namun, jarak antara mata air dan kampungnya mencapai hampir 5 kilometer. Di antara keduanya terbentang bukit cadas yang curam dan keras. Sulit membayangkan bagaimana saluran air bisa dibuat melewati perbukitan itu.
Mak Eroh melapor kepada Ketua RT, berharap akan ada upaya bersama untuk memanfaatkan mata air tersebut. Tetapi harapannya pupus—laporannya dianggap angin lalu, bahkan tidak dihiraukan.
Alih-alih menyerah, ia mengambil keputusan besar: ia akan mengalirkan air itu seorang diri.
Perempuan Melawan Cadas
Tanpa ilmu teknik, tanpa alat berat, hanya dengan cangkul dan blencong, Mak Eroh mulai memapas bukit cadas seorang diri. Pagi ia berangkat dengan membawa bekal nasi dan air seadanya, sore ia pulang dengan tubuh penuh peluh.
Tebing curam membuatnya sering harus bergelantung dengan rotan. Tangan tuanya lecet, tubuhnya penuh luka. Namun semangatnya tidak pernah surut.
Awalnya, warga kampung hanya melihatnya sebagai “orang gila.” Bisikan sinis kerap terdengar: “Perempuan tua itu tidak waras,” atau “Buang-buang tenaga, mana mungkin bisa.” Tapi Mak Eroh tidak gentar. Baginya, air adalah kehidupan, dan kehidupan harus diperjuangkan.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hingga pada hari ke-47, air mulai mengalir ke sawah kecilnya. Bagi orang lain mungkin itu sudah cukup. Tetapi bagi Mak Eroh, perjuangan barulah dimulai. Ia ingin seluruh kampung merasakan manfaat air itu.
Dari Cemooh Menjadi Gotong Royong
Lima bulan lamanya, Mak Eroh terus menggali saluran. Pelan namun pasti, jalur air semakin panjang. Usahanya yang konsisten mulai meluluhkan hati warga. Perlahan, satu per satu orang datang membantu. Meski hanya seminggu sekali, mereka mulai ikut bergotong royong memperlebar saluran.
Apa yang semula dianggap kegilaan, berubah menjadi kebanggaan bersama. Selama dua setengah tahun, Mak Eroh dan warga bergelut dengan cadas, hujan, panas, dan rasa lelah. Hasilnya luar biasa: saluran sepanjang 4,5 kilometer berhasil menembus delapan bukit cadas dengan kemiringan curam.
Air pun mengalir deras. Tidak hanya satu kampung yang terbebas dari kekeringan, tetapi juga 19 desa di sekitarnya. Sawah kembali menghijau, padi kembali berbuah, dan kehidupan desa berdenyut lagi.
Dari Desa ke Istana
![]() |
Tahun 1988, Mak Eroh diundang ke Istana Negara. Presiden Soeharto menganugerahkan kepadanya Penghargaan Kalpataru (Photo: Dokumen Asli/Istimewa) |
Kabar tentang Mak Eroh menyebar cepat. Dari mulut ke mulut, dari desa ke kabupaten, hingga akhirnya sampai ke telinga pemerintah pusat. Tahun 1988, Mak Eroh diundang ke Istana Negara. Presiden Soeharto menganugerahkan kepadanya Penghargaan Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup di Indonesia, untuk kategori Perintis Lingkungan.
Setahun kemudian, dunia ikut memberi pengakuan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan penghargaan lingkungan hidup internasional kepada Mak Eroh. Media dalam dan luar negeri menulis tentangnya, bahkan menjulukinya sebagai “Wanita Baja.”
Bagi Mak Eroh, penghargaan itu bukanlah tujuan. Baginya, kebahagiaan sejati adalah melihat air mengalir deras di sawah warga, dan anak cucu desa tidak lagi kehausan.
Warisan yang Abadi
![]() |
Tuguh Mak Eroh di tengah kota Tasikmalaya (Photo: Istrimewa) |
Mak Eroh meninggal pada 18 Oktober 2004. Namun, kisahnya tidak ikut terkubur. Sebuah tugu didirikan di jantung Kota Tasikmalaya untuk mengenangnya, agar generasi demi generasi tahu bahwa perubahan besar bisa lahir dari tekad sederhana seorang perempuan desa.
Ia bukan pejabat, bukan insinyur, bukan sarjana. Ia hanyalah perempuan desa yang percaya bahwa cangkul di tangan rakyat bisa lebih dahsyat daripada seribu mesin—asal digerakkan oleh hati.
Pesan dari Kisah Mak Eroh
Kisah Mak Eroh adalah bukti bahwa keberanian dan keteguhan bisa melampaui batas-batas logika. Bahwa perjuangan seorang diri, jika dilakukan dengan tulus dan konsisten, mampu menggugah banyak hati dan menggerakkan perubahan besar.
Ia mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat bagi sesamanya. Bahwa keajaiban sering kali lahir dari keyakinan sederhana: air harus mengalir, kehidupan harus terus diperjuangkan.
Hari ini, ketika dunia menghadapi tantangan lingkungan dan krisis air, kisah Mak Eroh menjadi inspirasi yang tak lekang oleh waktu. Seorang perempuan desa mengingatkan kita bahwa keberanian sekecil apa pun, bisa menjadi aliran yang menyelamatkan kehidupan banyak orang. (AR)
¹Tulisan ini diramu dari berbagai sumber, termasuk wawancara saksi hidup dan arsip media cetak. Bagian kisahnya pernah dimuat oleh Wa’Odeng Sanud di Harian Kompas tahun 1994. Salah satu narasumber adalah Ibu Maesaroh (40 tahun), yang kisahnya juga pernah ditayangkan di kanal YouTube Azil menggunakan bahasa lokal.