![]() |
| Warung Sunari Bali di segel oleh Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Provinsi Bali bersama Pemerintah Kabupaten Tabanan (Photo: Istimewa) |
Realitynews.web.id | JATILUWIH — Desa Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, sejak 2012 ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Penetapan ini diberikan atas keberadaan sistem irigasi tradisional Subak yang menjadi warisan budaya tak benda bernilai universal. Di Indonesia, WBD mencakup situs kebendaan dan tak benda, seperti Candi Borobudur, Situs Manusia Purba Sangiran, dan Subak Jatiluwih.
Namun, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir, wajah Jatiluwih perlahan berubah. Berdasarkan citra satelit Google Earth, terlihat alih fungsi lahan yang signifikan. Area hijau sawah mulai terpotong oleh bangunan-bangunan permanen yang muncul di berbagai titik kawasan.
Ancaman terhadap status WBD Jatiluwih pun bukan isapan jempol. Pada Mei 2025, BeritaBali.com melaporkan bahwa Jatiluwih terancam dicabut statusnya sebagai situs budaya tak benda akibat masifnya pembangunan di area persawahan. Ancaman serupa juga pernah muncul pada 2019, ketika pembangunan helipad di tengah sawah memicu kekhawatiran pencabutan status WBD.
Pembangunan di Desa Jatiluwih seolah tak terbendung. Sejumlah akomodasi dan usaha pariwisata bermunculan, menawarkan panorama terasering sawah yang ikonik. Di sepanjang jalan utama, bangunan-bangunan tinggi berdiri dan ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.
![]() |
| Papan pengumuman membangun dikawasan zona jalur hijau (Photo: Istimewa) |
Di tengah situasi itu, pada Kamis sore, 4 Desember 2025, seorang pria tampak membenahi lembaran seng yang dipasang di pematang sawah. Seng tersebut menghadap langsung ke jalan utama yang ramai dilalui wisatawan. Pria itu adalah Yogi, pemilik Warung Sunari Bali yang berada di kawasan sawah Jatiluwih.
Warung Sunari Bali saat itu dalam kondisi tutup. Di pintu masuk, terpasang garis hitam-kuning sebagai tanda penyegelan. Yogi tampak bersama istrinya, Ratih, yang tengah mengandung. Seharusnya, pasangan ini melayani pengunjung yang datang menikmati sajian di warung mereka. Namun, peristiwa sehari sebelumnya membuat mata pencaharian mereka terancam.
Ayah Yogi, Nengah Darmika Yasa, menuturkan kronologi yang ia alami. Sekitar tahun 2024, Darmika bersama 12 pemilik usaha lainnya di Jatiluwih menerima Surat Peringatan Pertama (SP1) dari Pemerintah Kabupaten Tabanan. Surat tersebut menyatakan bahwa usaha mereka diduga berdiri di kawasan hijau.
Para pemilik usaha kemudian melakukan klarifikasi. Menurut Darmika, Warung Sunari Bali telah berdiri sejak 2017 di atas lahan yang disebutnya sebagai lahan nonproduktif. Beberapa bulan berselang, mereka kembali menerima Surat Peringatan Kedua (SP2). Surat itu ditindaklanjuti dengan pengajuan rekomendasi ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) terkait permohonan pelepasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) pada area yang telah terbangun.
Setelah proses tersebut, tidak ada tindak lanjut resmi lainnya. Namun secara tiba-tiba, pada Selasa, 2 Desember 2025, Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Provinsi Bali bersama Pemerintah Kabupaten Tabanan melakukan inspeksi dan penyegelan terhadap sejumlah usaha, termasuk Warung Sunari Bali.
“Belum SP3 keluar, dua hari lalu langsung disidak dan ditutup. Tidak ada basa-basi,” ujar Darmika saat ditemui di lokasi. Selain Sunari Bali, sedikitnya 12 warung lain turut disegel, termasuk Gong Jatiluwih, sebuah restoran yang kerap menjadi lokasi pertemuan pemerintah di kawasan tersebut.
Ironisnya, Darmika mengaku baru menerima Surat Peringatan Ketiga (SP3) dari Pemkab Tabanan pada Kamis pagi, 4 Desember 2025, atau setelah proses penyegelan dilakukan. Langkah mendadak tersebut memicu kekecewaan warga, terutama para petani lokal yang juga mengelola usaha kecil di Jatiluwih. Dari 13 lokasi yang disegel, sebagian besar dimiliki warga setempat yang menggantungkan hidup dari pertanian dan usaha pariwisata skala kecil.
Sebagai bentuk protes, Darmika mengajak petani terdampak untuk melakukan aksi simbolik. Mereka memasang lembaran seng putih di pematang sawah, termasuk di lahan milik Darmika yang berada tepat di belakang Warung Sunari Bali. Lebih dari 10 lembar seng dipasang menghadap jalan utama, dengan tujuan memantulkan cahaya matahari sore ke arah jalan sehingga aktivitas pariwisata terganggu.
![]() |
| Aksi protes warga dengan memasang kain hitam dan sejumlah seng baru di pematang sawah milik mereka (Photo: Istimewa) |
Menurut Darmika, jika pembangunan warung memang dilarang, seharusnya penindakan dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya menyasar usaha milik warga lokal.
Akibat penyegelan tersebut, Yogi dan Ratih kini terancam kehilangan sumber penghidupan. Selama ini, kebutuhan hidup keluarga mereka bergantung pada penghasilan Warung Sunari Bali. Hasil panen sawah dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama untuk biaya susu dan kebutuhan anak. “Jadi petani itu penghasilannya seberapa sih? Makanya sekarang serba tidak boleh,” kata Yogi.
Yogi juga menegaskan bahwa ia selalu taat membayar pajak tanah. Status Jatiluwih sebagai WBD, menurutnya, tidak memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan petani. Dari pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW), petani hanya menerima pupuk organik dan tunjangan hari raya (THR) sebesar Rp150.000 setiap enam bulan.
Ia menilai tidak adil jika warga lokal hanya menjadi penonton di tengah geliat pariwisata Jatiluwih. Hasil penjualan tiket masuk, kata Yogi, tidak pernah didistribusikan secara individu kepada petani, melainkan hanya dikelola oleh Subak secara kolektif. Bahkan, ia menyebut pengelola DTW beberapa kali abai terhadap kerusakan sistem irigasi Subak.
“Saya sudah sampaikan ke Satpol PP supaya segera ditindak kalau memang salah. Tapi sampai sekarang belum ditindak,” ujar Darmika, menyinggung pembangunan di jalur irigasi yang menghambat aliran air subak.
Darmika pun menyampaikan permohonan maaf kepada wisatawan atas ketidaknyamanan yang terjadi. Ia berharap persoalan ini dapat segera diselesaikan secara adil. Aksi petani berlanjut pada Jumat, 5 Desember 2025, dengan pemasangan seng di sejumlah titik lain. Keesokan harinya, petani terlihat membentangkan plastik hitam untuk menutupi lanskap sawah Jatiluwih.
Editor: Andi Rusman






